Rabu, 13 Februari 2013

Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia


Entah. Harapanku mulai memudar perihal senja yang merekah di siang bolong. Semua tahu itu hanyalah angan yang mustahil terwujud. Tapi sama sekali tidak untukku, imajiku. Laki-laki dengan wajah yang menua, kecoklatan, dengan garis rahang yang membuatnya tampak cekung dan murung mulai menghampiriku yang masih konsisten dan tak goyah dengan posisiku. Semakin dekat wajah penuh peluh itu semakin mengkilap. Dibawanya sebuah amplop berwarna pink seperti amplop-amplop yang biasanya selalu ia berikan padaku, jelas dengan isi yang berbeda.
            Aku menerima amplop berisi surat itu dengan seksama, tanpa menggubris laki-laki tukang pos itu. Hingga tak sempat mengucapkan kata terima kasih pada malaikat tak bersayap yang saat itu tengah kulihat ia mulai menghilang bersama kuda bersayap dengan satu tanduk di kepalanya. Tanganku mulai gemetar saat membuka amplop
berisi surat itu. Kira-kira begini bunyinya:

            Apa kabar, Luna ? andai kau tahu, sesungguhnya aku sangat merindukanmu.
            Bagaimana harimu ? aku harap indah, semoga senyum yang selalu kurindukan
           itu enggan lenyap dari bibirmu.
           Sengaja kuselipkan sepotong senja di dalam amplop berisi surat sederhana ini untukmu. Senja yang        mempertemukan kita, senja yang selalu menjawab pertanyaan-pertanyanku ketika rindu ini tak mampu kubendung.
            Tepat. Aku menerima dan membaca surat itu saat senja mulai menyembul dari permukaannya. Saat bibir senja mulai merekah, kuning, jingga keemasan. Ah, sulit menyebutnya. Namun sepertinya ini adalah senja terakhir aku bisa tersenyum. Ini senja terakhir aku menerima amplop berwarna pink berisi surat sederhana. Ini senja terakhir aku berjingkrak-jingkrak bagaikan gadis kencur yang baru saja menerima surat cinta. Dan ini akan menjadi senja pertama di mana setiap inci kepergiannya akan kuiringi dengan air mata.
            Dalam benakku berkecamuk berjuta pertanyaan mengambang, tak jelas. Dimana dia ? apa maksud surat yang barusan ia kirim untukku ? mengapa ia setega itu meninggalkanku tanpa satu pun keterangan yang jelas ? ah !
            Namun segera kusingkirkan pikiran-pikiran buruk itu. Mungkin saat ini ia tengah berada di negeri senja. Negeri di mana matahari tak pernah terbenam. Negeri yang selalu menampakkan ranum kesegaran penuh jingga. Dan, negeri yang tidak ada di dunia.
            Hari ini adalah hari kedua setelah kuterima surat itu. Ditemani suara burung payau yang sama sekali tak enak didengar, juga ditemani senja yang pelan-pelan lanum dan susut. Senja tak lagi jingga. Senja berubah menjadi buram, suram, dan kusam. Senja yang tetap bertahan dengan penantiannya. Senja yang dipaksa takluk pada sang waktu lantaran tak ada arah yang patut dituju.

Aku memutuskan untuk mengembara. Mencari ‘senjaku’. Entah, yang pasti hanya satu tujuan pengembaraanku itu: mendatangi negeri senja. Aku mantapkan langkahku. Ya, ke utara. Aku tidak tahu mengapa memilih arah itu. Naluri memerintahkanku seperti itu. Aku tak kuasa membantahnya. Dialah Rosi. Laki-laki yang mensugestiku untuk selalu ingin berada di dekatnya. Aku terus mengembara, memburu seorang pengembara. Aneh.

Kupercepat langkahku agar segera menemukannya dan erat-erat memeluknya. Hingga kematian mengecup kelopak matanya yang rapuh dan lelah. Ah, tiba-tiba langkahku gontai, pusing. Dan, gelap. Saat diri ini mulai terjaga, aku merasa tengah berada di suatu negeri antah berantah. Jauh sekali dengan yang kubayangkan tentang negeri senja. Apa benar ini negeri senja yang selama ini kucari-cari ? mana Rosi ? mengapa tak menemuiku ? di mana dia ?

Kutajamkan penglihatanku dengan mengucek-ngucek mata yang hampir 3 jam terpejam. Tak kutemukan siapa pun, terutama Rosi. Kecuali seorang perempuan berambut panjang sebahu yang kira-kira seumuranku. Ternyata dia yang menolongku saat aku pingsan. Dia cantik. Liana namanya.

Sejak saat itulah keakrabanku dengannya mulai terjalin. Dia juga memintaku untuk tinggal bersamanya. Di suatu senja, ia menceritakan tentang lelaki pujaannya. Yaa, dunia ini memang sempit. Aku merasa jadi korban di sini. Sama-sama dibodohi oleh satu orang laki-laki yang sama sekali tak kuketahui keberadaannya. Dialah kekasih Rosi yang 1 tahun terakhir ini selalu berkirim surat dengannya. Aku benar-benar bodoh. Tapi ah, biarlah. Penantian ini lebih berarti daripada kebohongan yang kuterima. Aku rela, tak apa.

Rosi terkenal sebagai lelaki pejuang, penumpas kejahatan. Suatu hari aku mendengar bahwa Liana menerima surat dari Rosi. Ia bercerita tentang keadaannya di sana. Bagaimana cuaca yang sangat dingin di sana, hingga membuatnya enggan mandi beberapa hari. Sebenarnya aku sangat sakit menyaksikan dan mendengar surat itu dibacakan. Biarlah, setidaknya dengan begitu aku tahu di mana ia berada. Ia sedang berjuang memerangi pembangkang yang enggan menuruti perintah pemimpinnya.

Aku tak kehilangan akal. Kuselipkan surat milik Liana yang hendak dikirimkan kepada rosi dengan suratku. Semoga dia tahu dan berminat membacanya serta berken membalas surat itu. Benar saja, satu minggu setelahnya aku menerima surat balasan itu. Singkat. Tapi mengandung berjuta makna dan kesan.
Satu, dua, tiga. Aku mulai membukanya dengan agak ragu. Matahari yang dari tadi serasa berjarak tak lebih satu jengkal dari kepalaku kini serasa menghilang. Aku menerima surat balasan itu beserta sebuah kotak kecil berwarna merah merekah. Ada bercak darah yang masih berbau anyir. Lalu aku membukanya.

Seketika aku terbelalak. Kaget. Isi dari kotak berwarna merah itu adalah bibir. Ya, bibir. Bibir yang sangat indah. Bibir paling indah yang pernah aku lihat. Bibir siapakah gerangan ? siapaah yang tega melukai dan memisahkan bibir ini dari pemiliknya ? mengapa ? sepertinya bibir ini adalah milik seorang perempuan, seorang gadis.
Apa ini bibir tambatan hati Rosi yang telah mengisi kekosongan hatinya saat mengembara di negeri senja dan yang pasti jauh dariku dan Liana ? ah ya, mungkin dia telah menemukan pujaan hati yang sesungguhnya, hingga ia rela mengiris dan mencongkel bibir indah itu dari prmiliknya. Karena ia yakin, bersama pemilik bibir itulah semua kekalutan dan kelelahannya akan terobati.

Aku menyimpan bibir itu dalam toples keci bekas kue yang telah habis kumakan. Aku meletakkannya di meja sebelah tempat tidurku. Aku selalu memandanginya setiap kali hendak tidur, atau setiap kali erasa kesepian karena tak punya teman. Suatu hari, kulihat bibir itu menggeliat seperti hendak mengucapkan sebuah kata. Namun kata-kata itu tak mampu kuterjemahkan. Bahasanya aneh, membuatku geli. Ah, mungkin ia berbicara dngan bahasa negeri senja, sebuah negeri yang tidak ada di dunia.

Tapi benar, sepertinya bibir itu ingin mengungkapkan sesuatu hal. Barangkali tentang keberadaan Rosi, atau apapun yang berhubungan dengan Rosi. Karena aku yakin, ia tahu segalanya tentang Rosi. Kejadian aneh itu hampir tiap malam aku temui. Aku mulai merasa tak terganggu. Sudah mulai biasa dengan keadaan ini.
Suatu malam, saat sang bintang enggan menampakkan sedikit pun sinarnya. Kira-kira jam 3 malam. Ya, aku memang sudah tidur waktu itu. Namun rasanya aku benar-benar terjaga. Aku merasa berada di suatu tempat yang lengang dan sepi. Hanya ada aku dan bibir itu. Ia memojokkanku. Sekali lagi, seperti hendak engungkapkan sesuatu, namun tak ada satu kata pun yang mampu aku terjemahkan dengan bahasa duniaku. Ah, bibir ini menjengkelkan. Amat menjengkelkan.

Suatu hari, saat senja, aku ingin memulai perjalananku menemukan pemilik bibir indah itu. Dan akan aku selesaikan saat senja juga. Akan kupaksa sang waktu untuk menjadikan dunia ini terus menjadi dunia senja. Tetap senja, dan harus selalu senja. Kelak akan kutemukan Rosi dan akan kubawa dia pergi. Pergi ke pusat senja. Senja yang tak pernah habis, meskipun Rosi pernah mengambinya dan mengerat senja itu dan mengirimkan potongan senja itu pada orang yang dicintanya. Atau, aku takkan pernah lagi bisa berkhayal akan menggenggam senja itu karena keduluan aku yang pergi, mati. Hingga akhirnya senja telah benar-benar raib.~

Jelek ? Gak apa-apa, yang pentng LIKE. Makasih :)

_Lia Azzah_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar